Ketika Ingat "Pulang"


Hidup ini mengajarkan untuk "ingat" kepada "pulang". Foto di Alun-alun Magelang. Dok. Pri


SEJAK awal pekan ini, tubuh saya nge-drop. Tenggorokan seperti disilet, batuk sampai lemes, leher panas, dan kepala pusing di seluruh penjuru. Gejalanya sudah saya rasakan sejak minggu lalu. Tapi, saya tahan-tahan karena masih ada kerjaan yang harus saya selesaikan.

Sejujurnya, sejak Februari lalu, stamina tubuh saya menurun. Barangkali, karena kaget menghadapi situasi yang terjadi di rumah. Iya, sejak sebulan lalu, rumah hijau direnovasi. Hanya kecil-kecilan, bagian depan dan ruang tamu serta ruang baca. Tapi, tak urung situasi gaduh itu membuat saya tidak bisa konsentrasi. Kebiasaan sehari-hari hening, sepi, lantas hiruk pikuk, membuat tubuh saya protes.

Saya mengungsi ke kamar pribadi.  Menghindari debu dan suara alat-alat yang bikin kuping ngilu. Mendengar musik melalui hp, karena saya malas mengusung laptop ke kamar. Melamun sampai tertidur. Ruang baca sementara berantakan. Saya belum punya kekuatan untuk merapikan. Barangkali besok dan Minggu.


Dalam keheningan yang tidak benar-benar hening itu, terlintas ide. Sebuah rencana untuk masa depan jika Tuhan izinkan. Saya ingin berhenti mengajar, menulis dan berbisnis. Saya ingin mendedikasikan waktu saya sepenuhnya untuk keluarga.

Rasanya, sudah cukup waktu saya sekian tahun  "bekerja." Ya, memang pekerjaan yang saya lakoni  ini tidak membuat saya, kami, kaya secara materi.  Pun, saya sudah bayangkan, saat "pensiun" dari kesibukan-kesibukan itu, bukan dalam kondisi saya sudah kaya secara financial. Saya bukan tipikal orang yang hobi menabung. Bukan juga orang yang suka investasi materi. 

Biarlah salah satu saja yang mencari nafkah. Saya sampaikan keinginan ini pada suami. Dia bilang, mendukung keputusan saya. 

Rezeki saya serahkan pada Yang Maha Mengatur. Punya tabungan, menimbun investasi, juga akan menjadi tanggungjawab yang berat di  akhirat. Apalagi jika tidak menjadi jalan manfaat bagi orang lain. Saya khawatir, nanti di akhirat, terbata-bata menjelaskannya. Karena itu, saya memilih tidak. 

Saya, kami ingin memberikan investasi ilmu pada anak-anak, seperti yang Bapak-Ibu saya ajarkan. 

Terlintas doa kecil, agar kami diberi  kesehatan, agar bisa menikmati hidup dengan sebaik-baiknya. Tidak kelelahan karena pekerjaan, tidak menghabiskan waktu di jalan atau di pekerjaan yang ujungnya hanya untuk kekayaan diri sendiri. Yang itu berarti, esok akan menambah daftar pertanyaan panjang saat kami berpulang.


Materi tidak akan pernah selesai untuk dikejar. Memutuskan berhenti, cukup, saat belum semua keinginan terpenuhi, saya rasa waktu yang ideal. Tidak menunggu usia tua. Karena kita tidak tahu, sampai kapan diberi usia. 


Yang saat ini menjadi fokus adalah menyelesaikan sejumlah kewajiban, semoga segera dimudahkan oleh Allah, berikutnya, kembali ke rumah. 

Jika belum ada anak, saya pikir, masih banyak yang bisa saya kerjakan. Merawat rumah, membaca, istirahat dan jalan-jalan. Sesekali saya akan menulis, agar tidak hilang peristiwa yang pernah menghampiri.

Mengaktifkan rumah baca saya menjadi tempat bermain dan belajar anak-anak tetangga, menemani suami saat di rumah, dan punya banyak waktu untuk diri sendiri.

Saya rasa kegiatan-kegiatan itu tidak akan sia-sia. Kalau punya tenaga lebih, bisa belajar lagi mendalami ilmu, agar bisa jadi bekal untuk mendidik anak-anak dan mendampingi suami. 

Saya sedang belajar untuk itu. Saya tidak pernah silau dengan apa yang dimiliki orang lain. Masing-masing orang beda tujuan. Bahagia saya sederhana saja. Bangun pagi tanpa terburu-buru, bisa mengucap syukur pada Ilahi tanpa kepikiran target kantor, bisa berlama-lama duduk mendengar musik sambil menyeruput kopi dan membaca. Bahagia saya adalah ketika bisa menjadi diri sendiri. Di dalam rumah atau di luar rumah bahkan di dunia maya, tak ada yang saya sembunyikan hanya karena prestise.

Jika sudah ada Kimi dan Menik, itu akan menjadi pusat kami dalam berkarya. Saya ingin kelak ketika "pulang", bisa lancar memberi pertanggungjawaban kepada Maha Semua bagaimana ketika di dunia kami dititipi anak-anak. Jika tidak pun, barangkali itu cara Tuhan mengasihi kami. Agar kelak, tak ada pertanyaan untuk kami perihal saat diberi amanah buah hati. Masih banyak cara untuk mencintai anak-anak, di luar sana banyak kepala yang rindu disentuh dan dipeluk. Tanpa kami harus memiliki. 


Tahun ini usia saya dan suami sama, 37 tahun. Masih banyak keinginan dan harapan yang belum tercapai. Tapi, saya, kami syukuri sejauh perjalanan usia ini. Masa depan sebenarnya bukan hanya "karir" di dunia. Mudah-mudahan, setiap langkah yang kami tempuh menjadi jalan sejingkat demi sejingkat untuk mendapat ridhoNya. Amin.


Ditulis, saat berusaha hening di tengah keriuhan yang menyesakkan, Kaki Penanggungan, 9 Maret 2018.







Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia