Adakah Surat Buatku, Pak Pos?

Judul tulisan ini terinspirasi dari lagu zaman old, berjudul Pak Pos, dinyanyikan oleh Dewi Purwati.



Surat balasan untuk anak-anak di Jogjakarta. Dok. Pri


MASA kecil saya hingga kuliah adalah kenangan tentang surat menyurat dengan sahabat pena, artis, saudara dan orang kesayangan atau gebetan. Sejak kelas 3 SD kerjaan saya setiap istirahat adalah piknik ke kantor pos. Jarak dengan sekolahan hanya 200 Meter saja.

Nyaris tiap hari saya ke kantor pos mengirim surat. Pun, hampir tiap hari pula Pak Pos datang ke sekolah mengantar balasan surat.

Mendapat surat semacam prestise tersendiri. Senang saja, ketika guru masuk kelas membawakan surat buat saya.

Waktu SMP juga kebiasaan ini istiqomah. Saya mulai rajin mengirim surat untuk media. Mulai surat pembaca, puisi, dan artikel.

Ketika pindah ke Bali, makin rajin pula saya surat menyurat dengan Teman-teman di Jawa. Kantor pos juga dekat dengan rumah. Saya biasa bersepeda pancal ke kantor pos.

Kebetulan, Pak Pos yang suka mengantar surat balasan untuk saya mukanya cakep banget. Kayak artis gitu. Kami menjulukinya Pak Pos cakep. Ha-ha-ha. Sebentar saja, saya dan saudara serta Teman-teman mengidolakannya.


Kadang pak Pos cakep datang pagi sekitar jam 10, saya yang kebetulan sekolahnya masuk siang, bisa menerima langsung surat  yang datang. Tapi sering juga Pak Pos cakep datang siang, otomatis yang terima Nenek atau Mama.

Mendapat surat itu rasanya gimana gitu. Ada debar-debar yang tak terdefinisikan. Apalagi, kalau yang kirim surat adalah seseorang yang istimewa.

Menulis surat pun juga dengan hati yang ulala. Beneran!

Saya ingat, betapa untuk urusan surat menyurat ini saya sangat detil memerhatikan kertas surat dan tulisan serta emoticon yang tentu saja tulis tangan. Gaya menulis saya untuk kawan biasa dan "seseorang" jelas beda. Ribet ya!

Tapi saya menikmatinya. Semacam piknik sendiri. Seusai belajar, saya menulis surat balasan. Saya tak suka menunda membalas surat. Sebab, saya tahu, mengutip kata mutiara, "menunggu adalah hal tak menyenangkan dalam logika penantian," betapa tak enaknya menunggu surat balasan.

Tahun 2000 saya tinggal di Jogja, masih rajin pula surat-suratan. Selain dengan Nenek, Mama dan kawan-kawan di Bali, ada juga gebetan di luar kota. Ha-ha-ha. Seru masa itu. Saya bisa baca surat doi berulang-ulang. Jadi hiburan tersendiri saat penat dengan tugas kuliah.

Zaman itu handphone sudah ada, tapi saya baru memiliki sekitar tahun 2002-an. Jadi, urusan komunikasi dengan keluarga dan gebetan serta kawan-kawan mengandalkan surat pos dan interlokal SLJJ melalui wartel kesayangan.

---

Saya lupa, kapan tradisi surat menyurat mulai dilipat zaman. Sepertinya, sejak era gawai dengan provider yang jual nomer perdana dengan harga murah dan hitznya penggunaan email mulai mengkudeta keberadaan surat-suratan konvensional. Tak perlu ke wartel, kantor pos atau warnet bila ingin mengalamatkan rindu.

Akhirnya, orang jadi malas nulis surat dengan tulisan tangan, cukup ketik sms atau email, maka urusan rindu selesai sudah. Kemudian berkembang dengan segala macam aplikasi komunikasi di gawai, makin tenggelamlah segala macam bentuk komunikasi konvensional. Ya ada sih yang masih setia surat-suratan, saya salah satunya. Tapi dalam setahun bisa dihitung lima jari, itu pun nulisnya pakai ketikan computer diprint, bukan tulisan tangan. Mengirimnya  lewat kantor pos, tapi pakai tercatat kilat khusus yang bisa dimonitor kapan nyampenya. Gak seru. Karena tidak ada debar-debarnya, apakah surat nyampe atau nyasar? Ha-ha-ha.


---

Akhirnya kerinduan saya mendapat surat terjawab, belum lama ini. Sekalinya dapat surat gak tanggung-tanggung, ada 23 pucuk surat dengan tulisan tangan.  Tuhan Maha Mengabulkan. Melebihi ekspektasi malah. Pengirim surat itu adalah bocah-bocah dari salah satu sekolah di Bantul, Jogjakarta, yang akhir Januari lalu saya temui di kelas literasi.



Surat berprangko di pojok kanan, kiriman anak-anak di Jogjakarta. Dok. Pri

Berasa artis banget deh ketika menerima surat sebanyak ini. Sungguh-sungguh membuat saya terharu. Hiks-hiks.

Anak-anak kelas 4 dan 5 itu kata gurunya, Bu Isyani dan Bu Heni bersukacita ketika diajak piknik ke kantor pos. Mereka menyiapkan surat yang ditulis di rumah. Ada yang menulis sampai disobek lebih dari tiga kali. Kayak zaman kecil saya dulu, kalau tulisannya kurang oke, akan disobek dan ganti kertas, menulis lagi. Begitu seterusnya sampai yakin itu tulisan dengan kata-kata terbaik. Indah banget kan ya?


Berebutan masukin surat ke bus surat. Foto : Kebaikan Isyani BP



Antri di Kantor Pos Besar Jogjakarta. Foto : Kebaikan Isyani BP

Ketika surat itu tiba di tangan saya sepekan kemudian, rasanya saya punya kewajiban untuk segera membalasnya. Saya tahu pasti, betapa tidak menyenangkannya bila surat yang kita kirimkan tidak mendapat balasan.

Jujur, saya merasa terhibur, senang, bangga dan terharu ketika membaca surat-surat yang dikirimkan anak-anak ini. Pilihan kata-kata mereka sederhana, polos namun menggugah.

Maka, di tengah kesibukan saya yang begitu padat dan situasi rumah yang tidak kondusif, saya membalas surat anak-anak itu satu persatu. Saya membayangkan diri saya adalah artis idola zaman kanak dulu, membalas surat dari para penggemarnya. Ha-ha-ha.

Saya bayangkan pula kegembiraan anak-anak mendapat surat balasan. Memang, bisa saja, saya bikin satu surat kemudian saya copy tinggal menuliskan nama pengirim surat satu-satu. Beres urusan. Seperti yang dilakukan artis yang  malas untuk balas surat fansnya. Tapi bagi saya, itu tidak personal.  Karena masing-masing surat isinya beda. Tidak lucu kan bila semua anak mendapat surat yang isinya seragam?

Seperti zaman ketika rajin surat-suratan, ketika membalas surat anak-anak ini pun, saya sambil membaca kharakter si penulis surat. Saya juga detil memilih kertas surat mana yang saya gunakan untuk membalas surat si A, B atau C dst, pun dengan emoticon yang saya tuliskan. 

Panjang pendek balasan surat pada masing-masing anak juga tidak sama. Untungnya, para pengirim surat itu tidak minta dikirimi foto saya. Bisa-bisa saya harus foto dengan 23 kali pose yang berbeda agar masing-masing anak dapat foto saya yang beda gaya. Ha-ha-ha.



Kalau bukan karena sungguh-sungguh apa ini namanya? Dok. Pri




Seperti baca cerpen. Tapi saya suka baca surat yang panjang. Dok. Pri

Menulis surat dengan tulisan tangan, kata referensi tentang Bahasa dan Sastra yang sempat saya baca, juga termasuk salah satu seni. Saya mengamini. Karena memang, tidak mudah menulis surat. Selain harus meluangkan waktu untuk menulis juga butuh daya tahan tubuh ketika menggoreskan bolpoin di atas kertas. He-he-he.


Saya butuh waktu dua hari masing-masing dengan durasi waktu sekitar tiga jam untuk membalas tuntas semua surat yang saya terima. Agar tidak salah kirim, setiap usai menulis surat, langsung saya masukkan amplop dan diberi nama masing-masing.

Pasangan saya ikut senang ketika tahu saya dapat banyak surat dan mendukung saya untuk segera membalas. Doi pula yang mengantar saya membeli kertas surat dan membawa surat-surat saya ke Kantor Pos untuk dikirim ke Jogjakarta.

"Jangan mengecewakan anak-anak," gitu katanya. 

Gara-gara korespondensi itu, sejumlah kawan fesbuk sempat minta dikirimi surat pula. Baiklah, mumpung saya lagi semangat, sekalian saya tulis surat buat mereka. 

Saya tahu memendam rindu untuk dapat kiriman surat itu berat. Cukuplah saya saja pernah merasakannya (Eh siapa tahu Teman-teman juga pernah merasakannya...he-he-he).

Ada banyak pelajaran yang saya terima dari anak-anak melalui surat-surat mereka. Salah satunya tentang kesungguhan.

Sungguh-sungguh ketika melakukan sesuatu. 

Maka bagi, saya tak ada balasan yang lebih baik dari sebuah kesungguhan selain dengan kesungguhan pula.

Setelah surat-surat lengkap saya tulis, tak menunggu lama, pagi-pagi sekali, segera kami antar ke Kantor Pos yang kebetulan sangat dekat dengan rumah.

Kurang lebih empat hari kemudian, saya dapat kabar, surat yang saya kirimkan melalui pos tercatat itu sudah diterima oleh anak-anak di Bantul, Jogja.

Saya berharap, tradisi surat-menyurat itu tidak berhenti begitu saja. Tentu indah dan menyenangkan, bila dalam sekian waktu yang kita punya ada hari di mana hati kita berdebar-debar, karena menunggu Pak Pos datang mengantar surat.


Surat-surat itu kita arsip yang bisa dibaca ulang kapan saja saat kita rindu. Menyendiri sambil dengar musik, dan membaca surat-surat tulisan tangan, rasanya surga itu ada pada halaman-halaman kertas surat yang ditulis dengan penuh kesungguhan.

Adakah yang mau kirim surat buat saya?



Senangnya dapat surat. Foto : Kebaikan Isyani BP




Membaca suratku. Foto : Kebaikan Isyani BP


Ditulis di Kaki Penanggungan, Senin malam yang teduh, 19 Maret 2019, dengan berjuta rindu yang rindu.



Terimakasih anak-anak matahari beserta para pengajar di SD Banyuripan, Kasihan, Bantul, Jogjakarta untuk korespondensi kita.

---

Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Kulineran Ikan Dorang

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia