Tuhan Maha Mengabulkan



Banjir Kraton luapan Sungai Welang, Kamis (22/02). Foto. Kang Ube/Jawa Pos Radar Bromo



Sebaik-baik rencana manusia, rencana Tuhan segala-galanya.


Rencana yang sudah tersusun di kepala, bangun sebelum Subuh, belanja cepat, masak kilat lalu siap-siap supaya bisa bareng hubby jam 6.30 ke sekolah. Saya akan turun di halte untuk melanjutkan perjalanan naik bis ke Probolinggo. Perkiraan saya jam 7 saya sudah naik bis, dan jam 9 sudah mendarat di tujuan. 

Faktanya, meski jam 7 saya sudah ngebus dari Bangil, sampai jam 9 saya masih terdampar di atas bus sebelum masuk Kota Pasuruan. Begitu yang saya alami ketika melakukan perjalanan ke Probolinggo untuk memandu acara diskusi buku, Kamis pagi (22/02).

BANJIR.

Ketika bis berjalan merambat karena antrian kendaraan mengular, saya masih berfikir, banjir di kawasan langganan air meluap tersebut tidak akan membuat laju kendaraan berhenti. Macet biasa.

Ternyata oh ternyata....

"Banjirnya setinggi dada, bakal lama surutnya.." begitu info dari kondektur. Mesin bus pun dimatikan oleh supir. Saya lihat ambulance hilir mudik, kendaraan operasional Basarnas juga wara-wiri dan  sirine mobil polisi terus meraung-raung.

Saya masih tenang. Saya keluarkan buku dan mulai membaca. Tapi, tak urung saya penasaran juga.  Setelah mengecek berita di akun media sosial radio kenamaan, akhirnya, saya pun turun dari bis. Nimbrung bareng kondektur dan para supir. Saya lihat genangan air di sebelah timur lumayan tinggi. Antrian kendaraan makin panjang.

"Kira-kira lama gak ya pak surutnya?" Sebuah pertanyaan absurd terlontar dari mulut saya. 

Tidak seharusnya saya bertanya begitu. Tidak ada yang tahu rahasia alam. Saya tak membutuhkan jawaban. Bergegas saya menepi ke pinggir jalan.

Saya lihat banyak orang yang naik motor, rata-rata para karyawan pabrik  yang berhenti dengan wajah kalut. Mereka sibuk menghubungi bosnya, mengabarkan terjebak banjir dan tidak masuk kerja.

Di depan sebuah toko, sejumlah aparat TNI berkumpul. Saya menghampiri mereka mencari informasi. Seorang Bapak-bapak berseragam loreng menunjukkan gawainya. Foto debit ketinggian air di sebelah timur kami.

Saya tak banyak bicara. Tak ada yang perlu dikomentari dari sebuah musibah. 

Perut saya mulai lapar. Teringat, sebelum berangkat, saya belum sarapan meski sudah memasak pagi buta. Sengaja, ingin makan setiba di Probolinggo.

Saya kembali ke pinggir jalan. Melihat situasi, siapa tahu ada tukang jualan menjajakan nasi bungkus. Tak ada.

Saya gendong ransel berjalan ke barat. Mencari warung kopi. Tak sampai 100 M saya berjalan, nemu juga warung jualan kopi. Sejumlah aparat berseragam loreng ngopi bareng di situ. Saya ikut bergabung. Memesan kopi hitam sambil membaca.

Biasanya menghadapi situasi kemacetan, saya suka kalut. Tapi pagi kemarin, saya biasa saja. Saya masih sempat update beberapa status di facebook. Menyelesaikan membaca buku dan "menikmati" suasana kemacetan.



Ngopi pinggir jalan ketika kejebak banjir Pasuruan. Dok. Pri


Jadi teringat, baru-baru ini saya kerap merindukan piknik naik bis. Keturutan juga akhirnya. Menjelang akhir bulan lalu, pergi pulang Jogja saya naik bis. Di sela ke Jogja, saya juga ke Solo naik bis.

Pekan lalu, saya kembali dilanda rindu berat naik bis. Tuhan Maha Mengabulkan. Setengah hari kemarin, akhirnya saya diijinkan piknik di atas bis. Iya hampir empat jam di atas bus yang tidak jalan. 

Saat menyesap kopi yang masih panas, tiba-tiba saya merasa seperti diingatkan untuk bersyukur. Betapa tidak, tak jauh dari saya ngopi, banjir menerjang setinggi dada dewasa. Penduduk di kawasan itu sedang berjuang menyelamatkan diri. Sedangkan saya? Duduk-duduk ngopi tanpa melakukan apa-apa. 


Saya kembali membaca informasi dari laman media sosial radio dengan perasaaan hampa. Terburu saya menyelesaikan minum kopi, lalu kembali ke atas bus. Dengan tenang, saya menghubungi kawan di kota sebelah yang menunggu kehadiran saya. Selarik pesan saya kirim, agar dia menyiapkan pengganti, kalau-kalau saya tak bisa datang ke Probolinggo.

Saya kabarkan posisi terakhir dan minta doa agar diberi kemungkinan terbaik. "Yang terjadi, terjadilah," kata Stebby ketika berbalas pesan melalui media sosial.



Banjir memutus akses jalan Pasuruan-Probolinggo, Kamis (22/02). Foto : Kang Ube/Jawa Pos Radar Bromo

Saya lihat jam baru akan pukul 10. Sebenarnya, masih banyak waktu, karena acara baru akan mulai pukul 14. Tapi dalam situasi bencana seperti itu, saya tak mungkin berspekulasi.

Saya japri suami, mengabarkan situasi yang saya hadapi. Dia sigap menjawab, akan mengevakuasi saya setelah upacara selesai. Saya sempat komunikasi juga dengan Mba Yona Primadesi. Menyampaikan posisi saya dan kondisi yang tengah saya alami. Termasuk kemungkinan jika saya gagal ke Probolinggo. 


Tak ada bayangan apa pun di benak saya. Hati saya pun tak mau berandai-andai. Ketika kru bis memutuskan balik kanan ke Surabaya, dan sebagian besar penumpang yang mau lanjut perjalanan dioper ke bis lain, saya memilih ikut kembali, turun di Bangil. 

Tapi sebelum bis kembali ke barat, saya lihat suami melambaikan tangan dari atas motor. Dia datang  lebih cepat dari yang saya perkirakan. Saya turun dari bis, mengucap terima kasih pada kondektur yang begitu baik pada saya. 

Turun dari bis, saya dan suami berdiskusi kecil. Lalu, dia memutuskan akan mengantar saya ke Probolinggo naik motor lewat jalan alternatif. Tak lupa mengabari teman di kota sebelah, bahwa saya sudah dievakuasi suami dan kami sedang berusaha mencari jalan untuk menuju Probolinggo.

Baru akan jam 11, masih ada waktu jika naik motor. Kami melintasi jalan kampung, sawah dan ketemu kemacetan lagi yang luar biasa.

Oh rupanya, semua akses baik dari utara dan selatan di Pasuruan macet di mana-mana. Saya tenang di atas motor. Namun, tak urung sempat juga meluapkan rasa jengkel melihat jalan rusak di mana-mana, proyek pembangunan yang menghancurkan jalan dan memertanyakan peran pemimpin.

Kemacetan seperti tak berujung. Suami melajukan motor dengan hati-hati karena kondisi jalan yang becek, rusak dan macet parah.

Lebih dari satu jam berjalan, akhirnya ketemu juga jalan utama Pasuruan-Probolinggo yang lengang. Saya berucap syukur. Dari atas motor, saya kirim pesan posisi terakhir ke Stebby. 

----

Tepat pukul 13, masuk Kota Probolinggo dan mampir makan siang di bakso langganan kami.

Perjalanan yang begitu panjang, nyaris setengah hari dari jarak tempuh normal dua jam perjalanan.

Kami makan dengan lahap sebelum akhirnya menuju ke venue. Berjumpa dengan Mba Yona, Naya dan Om Nermi Silaban.

---

Di atas bus yang berhenti kemarin, saya sempat merenung di tepi jendela. Ada banyak hal yang saya renungi. Semuanya akhirnya berujung, betapa Rahman RahimNya begitu luar biasa. 

Saya tak bisa berbuat banyak menghadapi situasi macam itu. Sedang ditunggu banyak kawan, tapi dihadang banjir yang tidak terbayangkan di benak.

Berserah.

Saya ikhtiarkan dengan menghubungi suami, paling tidak dia tahu kabar saya ketika di perjalanan. Ternyata, dia berinisiatif untuk mengevakuasi saya.

Teringat pagi-pagi, sebelum kami berangkat, dia bilang, tidak bisa mengantar saya. Tapi dia ingin berjumpa Naya. Sempat bilang, seandainya, siang dia tidak terlalu sibuk, dia akan menjemput saya.

"Tidak usah nyusul, nanti malam saja jemput di halte," begitu kata saya. Saya mikirnya kasihan suami, sudah capek habis ngajar masa iya mau nyusul saya ke Probolinggo. Lebih baik dia pulang, istirahat, baru malamnya jemput saya di halte. 

Rupanya, itu semacam doa. Dia ingin ketemu Naya sekaligus ingin menemani saya. Akhirnya, Tuhan kabulkan dengan caraNya. Kami pergi pulang Probolinggo bersama.


Pada setiap peristiwa selalu ada hikmah. Saya sedang belajar untuk menerima semua kejadian dalam hidup saya tanpa banyak pertanyaan. Biarlah, Dia melakukan kehendakNya kepada saya, kami dengan "suka-suka." Saya memercayai, semua kehendakNya tak ada yang tak indah. 


SekehendakMu kepadaku. Aku berserah. Foto : PixBay.



Ditulis menjelang pergantian hari menuju pagi, Jumat (23/02), sebagai renungan untuk diri sendiri.















Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang