Rumahku=Perpustakaanku

SUDAH sejak remaja saya punya perpustakaan kecil-kecilan. Dulu, waktu SMP/SMU, rak buku kecil ada di pojokan kamar. Meski belum bisa tertib menyimpan buku. Masih tercecer di mana-mana. (Sampai sekarang sih, masih sering menyimpan novel di kasur atau di bawah ranjang). He-he-he.

Saat kuliah, baru deh mulai disiplin menyimpan buku. Soalnya, terasa banget beli buku butuh perjuangan dan pengorbanan mengirit uang jajan. Ada meja belajar kecil dan rak buku gantung di kamar kos. Ketika isi buku makin banyak, walhasil sisanya dirapikan di lantai dekat kasur. Saat pindahan dari Jogja, ada tujuh hingga delapan boks besar isi buku. Sampai papa yang bantuin evakuasi barang, harus memanggil mobil ekspedisinya merapat ke kos.

Jaman kerja di Surabaya juga begitu. Meski hanya hitungan bulan, kamar kos saya nyaris isinya hanya buku. Coba kalau isinya uang ya? He-he-he. Buku-buku yang saya kumpulkan di Jogja dan Surabaya sekarang tersimpan rapi di perpustakaan kecil rumah kami di Bali.


Sastra lama, favorit saya. Dok : Pribadi


Punya perpustakaan adalah cita-cita saya sejak kecil. Padahal, waktu sekolah dulu, saya malas pergi ke perpustakaan. Mungkin, karena ruang perpustakaan di sekolahan saya dulu tidak menarik. Tempatnya di kelas yang tidak digunakan dengan bangku-bangku rusak. Buku-bukunya kebanyakan tidak ada sampulnya. Untungnya, jaman SD dulu ada teman yang suka baca buku dan punya perpustakaan kecil-kecilan di rumahnya. Jadilah, tiap pulang sekolah saya main ke rumahnya. Selain saya dapat pinjaman buku-buku dari sekolahan tempat mama mengajar.

Jaman SMP juga gitu. Saya hanya sekali dua kali menginjakkan kaki ke perpustakaan. Waktu SMU sama juga. Tidak pernah saya main-main ke perpustakaan. Saya malas bertemu buku-buku pelajaran. Apa bedanya dengan di kelas ya?

Padahal, waktu SMU saya masuk jurusan bahasa, dan di buku paket itu ada penjelasan tentang buku-buku sastra berbagai angkatan. Sayang, perpustakaan tak menyediakan buku-buku seperti yang dijelaskan dalam buku pelajaran. 

Masa kuliah, sepanjang saya belajar selama tiga setengah tahun, tidak lebih dari hitungan jari sepuluh saya menyambangi perpustakaan kampus. Meski pun gedungnya besar, luas dan nyaman, entahlah saya sungguh tidak ingin ke sana.  Kalau pun terpaksa ke perpustakaan, tidak betah berlama-lama. Setelah urusan pinjam mengembalikan selesai, saya segera kabur.


Agak aneh juga sih sebenarnya, saya suka baca buku tapi tidak suka berkunjung ke perpustakaan sekolah. Ada sejumlah trauma yang membuat saya enggan melangkahkan kaki ke sana. Tak perlu diulas lebih detil soal ini. Hi-hi-hi.

Setiap kali ingin baca buku, saya lebih suka menyambangi  toko buku besar. Senang saja melihat penataannya yang rapi dengan klasifikasi jenis-jenis buku yang mudah diakses.

Sering, saya sembunyi-sembunyi merobek segel buku dan membacanya sambil lesehan di lantai tobu. Itu untuk buku-buku bagus dan harganya mahal yang tak terjangkau kantong mahasiswa proletar macam saya. (Ini semacam kriminal kecil-kecilan gak sih? ).

Kalau ada uang, saya beli buku dua sampai lima buah. Tapi kadang memanfaatkan acara-acara bedah buku di kampus atau tobu untuk dapat buku gratisan.

Pernah pula saya dapat kiriman buku dari X. Saya tidak tahu siapa, mungkin penggemar gelap yang tahu kalau saya hobi baca. Dia kirimkan buku Psikologi Komunikasi, Chicken Soup dan novel Jepang. Lumayanlah menambah koleksi, meski saya tidak tahu siapa pengirimnya dan tidak ingin juga mencari tahu. 

Impian punya perpus semacam ini. Ambil di Net.


Waktu awal-awal menikah, saya hanya bawa buku tak lebih dari lima buah. Eh lama-lama, buku di rumah kecil kami terus bertambah. Setiap bulan, saya dan suami rutin berkunjung ke toko buku membeli satu atau lebih bacaan baru. Untuk urusan buku, sebisa mungkin kami tak pernah eman-eman. Saya belanja buku dari honor menulis dan mengajar. Sering juga keuntungan dari bisnis saya gunakan beli buku. Itu yang membuat jumlah buku terus bertambah di rumah kami. Memang sih tak sebanyak buku yang dimiliki teman-teman sampai ribuan judul gitu.

Macam-macam buku yang kami punyai; Novel, kumpulan cerita, biografi dan otobiografi, buku-buku jurnalistik dan fotografi, buku cerita anak-anak dsb. 

Khusyuk membaca di pusmini. Dok : Pusmini.


Akhirnya, tahun lalu, saya memanfaatkan ruang kecil di rumah sebagai perpustakaan mini (pusmini). Dibantu papa, saya memindahkan buku-buku ke ruangan tersebut, memasang peta dan kartu pos dari sejumlah negara, dan menata beberapa pernik-pernik dari sejumlah negara yang pernah kami kunjungi.

Peta dari sejumlah negara di pusmini. Dok : Pusmini


Anak-anak di kampung rupanya senang dengan kehadiran pusmini. Hampir setiap hari mereka main dan membaca buku, menggambar dsb.

Saya juga sempat membuat kelas menulis setiap hari Minggu, dan sudah ada murid yang berhasil menembus media. Lalu, suami juga membuat film yang melibatkan anak-anak. Kegiatan mendongeng juga pernah diadakan oleh pusmini. Semuanya kami lakukan tanpa memungut serupiah pun dari anak-anak.  

Bikin film anak-anak. Dok : Pusmini

Dongeng anak di Pusmini. Dok : Pusmini

Liputan kegiatan Pusmini di Tribunnes. Dok : Pusmini



Kelas menulis di pusmini. Dok : Pusmini


Buku-buku di pusmini. Dok : Pusmini


Kesibukan sering ke luar kota lalu suami juga beberapa bulan terakhir harus tugas belajar ke Jogja membuat pusmini jarang buka. Tapi saya mengupayakan kegiatan seperti kelas menulis online masih terus berlangsung. Saya mementori beberapa orang yang pernah menjadi murid saya. Tentu saja ini lakukan sekaligus sambil belajar. Bukankah ilmu apabila tidak pernah dibagikan atau digunakan akan hilang? Nah, saya tidak mau itu terjadi.


Bicara kesadaran membuat perpustakaan di setiap rumah, memang belum banyak orang yang mau melakukan. Tentu saja ini juga berkaitan dengan kebiasaan, pola hidup dan tentu saja pendidikan. Meski, tak sedikit pula mereka yang tidak berpendidikan tinggi, tapi punya kesadaran dan kemauan untuk menciptakan perpustakaan di rumahnya.

Kebetulan saya dan suami sehari-hari berkecimpung di dunia pendidikan, sehingga keberadaan buku menjadi penting bagi kami.

Membuat perpustakaan kecil di rumah, tak perlu menunggu punya buku sampai ratusan judul. Dengan koleksi seadanya, bisa menciptakan pusmini sendiri.


Gimana caranya?

  1. Siapkan saja sebuah rak kayu, letakkan di tempat yang mudah diakses. Tidak usah diberi kaca atau dikunci segala, agar bisa dijangkau anak-anak dan siapa pun di rumah. 
  2. Pilah-pilah buku sesuai jenisnya; Novel, kumpulan cerpen, komik dsb.
  3. Atur di rak dengan tulisan judul yang mudah terbaca.
  4. Sering-seringlah merapikan isi rak dan mengubah susunannya agar tidak membosankan.

Saya masih berkeinginan membangun perpustakaan yang representatif. Kalau sekarang kan masih seadanya. Mengingat, kami juga belum tahu ke depannya akan melanjutkan petualangan ke mana. Karena kami masih punya cita-cita untuk tinggal di tempat yang baru. :)

Reportase kegiatan dongeng di pusmini di Surya. Dok : Pusmini

Jadi ingat kisah Hatta, triumvirat negeri ini yang begitu mencintai buku. Dalam pengasingan pun, yang dia lakukan adalah membaca dan menulis. Tak heran, saat kembali dari tempat diasingkan, Hatta memiliki 14 peti kayu berisi buku. Petinya besar dan berat karena masing-masing peti isinya ribuan judul buku. Buku-buku itu diperoleh Hatta dari honornya menulis, ada pula yang ia dihadiahi oleh orang lain. Itulah harta berharga bagi Hatta. Karena buku pula, Hatta memilih meninggalkan istana merdeka.

Saya percaya warisan yang berharga untuk generasi selanjutnya adalah ilmu. Dan, itu salah satunya diperoleh dari buku.

Semoga kita semua sesibuk apa pun, masih punya waktu untuk membaca buku ya!

Terimakasih kami sampaikan pada teman-teman yang sudah berpartisipasi di Pusmini, melalui kiriman buku-buku dan majalah. Salam literasi!







Comments

Popular posts from this blog

Ke Bali Naik Kereta Api

Bekerja dengan Cinta, Bekerja dengan Bahagia

Kulineran Ikan Dorang